Surabaya, Maret 1997, hari terakhir di rumah kos, saya berpamitan untuk esoknya pulang ke Semarang dan melanjutkan panggilan kerja ke Batam. Di kamar kakak kelas, Budi Ansyari, bersama dengan adik kelas saya, Oki, dan seorang yang saya kagumi, Agil Assegaf, kami duduk bersila. Saya membuka percakapan.. “Mas Agil, besok aku kan aku udah gak (kos) di sini lagi. Boleh gak aku minta wejangan dari Mas Agil, apa yang harus aku perbaiki didiriku?” Ada suatu alasan yang kuat kenapa saya memilih sosok Agil, senior 1 kos saya, untuk memberikan masukan kepada saya. Agil tak istimewa dalam prestasi akademis. Bahkan saat saya lulus kuliah, dia masih belum menyelesaikan skripsinya. Padahal dia adalah kakak kelas 1 tahun mendahului saya. Dia pernah memberikan pengakuan kepada saya, “Aku gak pernah ‘lolos’ sholat 40 hari. Ada aja yang membuatku ‘putus’ sebelum 40 hari.” Kamar Agil nyaris tak pernah tertutup, karena saking ramainya kawan-kawan dia berkunjung tak kenal waktu. Suatu saat pintu kamarn...